Marcus Tullius Cicero
Sungguh
menarik ketika kita sedikit melirik sepintas mengenai perjalanan
negarawan Romawi, Marcus Tullius Cicero. Sosok ini berbeda dengan
negarawan lainnya dalam hal merebut kekuasaan. Maksudnya adalah
kekuasaan politis resmi yang dalam bahasa latin dikenal sebagai imperium-
kekuasaan atas hidup dan mati, sebagaimana dimandatkan oleh Negara
kepada seseorang. Ratusan orang mengincar kekuasaan tersebut, tetapi
Cicero adalah sosok unik dalam sejarah republik Romawi pada saat itu,
dalam arti dia mengejarnya tanpa bantuan sumber daya apapun selain
bakatnya sendiri. Tidak seperti Matellus atau Hortensius, dia bukan
berasal dari keluarga Aristokrat yang agung, dengan piutang budi politik
turun temurun selama beberapa generasi yang dapat ditagih pada saat
pemilu. Dia tidak memiliki armada perang perkasa yang mendukung
pencalonannya, seperti Pompeius atau Caesar. Dia tidak memiliki harta
berlimpah seperti Crassus untuk melicinkan jalan. Yang ia miliki
hanyalah suaranya dan dengan kekuatan tekad semata, dia mengubahnya
menjadi suara paling termasyhur di dunia.
Cicero
adalah pengacara muda yang menderita kelelahan saraf dan sedang
berjuang mengatasi cacat alami yang besar. Pasti tak banyak orang yang
bersedia bertaruh pada keberhasilannya. Pada usianya yang ke 27 tahun,
suara Cicero pada saat itu belum menjadi alat yang menggetarkan seperti
di kemudian hari, hanya suara serak yang sesekali cenderung gagap. Dan
menurut salah satu sekretaris pribadinya, Tiro, meyakini bahwa gagap
yang dimaksud dikarenakan oleh kepalanya yang disesaki begitu banyak
kata, sehingga saat penuh tekanan, kata-kata itu tersangkut di
tenggorokannya, ibarat sepasang domba yang ketika didesak kawanan dari
belakang, berhimpitan di gerbang karena berusaha melewatinya bersamaan.
Yang pasti, kata-kata tersebut sering terlalu muluk untuk dapat dipahami
para pendengarnya. Si “Cendekiawan”, demikian julukan para pendengarnya
yang gelisah, atau “Si Yunani”, dan kedua sebutan ini tidak dimaksudkan
sebagai pujian. Meskipun tak ada yang meragukan bakatnya dalam
oratoria, perawakannya terlalu lemah untuk mengusung ambisinya, dan
tekanan terhadap pita suaranya akibat beracara beberapa jam, sering kali
di udara terbuka dan di segala musim, membuat suaranya serak atau habis
hingga berhari-hari. Insomnia kronis dan lemah pencernaan menambah
penderitaannya. Sebenarnya, jika dia ingin terjun ke dunia politik
sabagaimana didambakannya dengan sangat, dia membutuhkan bantuan
professional. Oleh karena itu, dia memutuskan pergi ke luar Roma
beberapa lama, merantau untuk menyegarkan pikiran sekaligus
berkonsultasi dengan guru-guru retorika terkemuka, yang sebagian besar
tinggal di Yunani dan Asia Kecil.
Cicero
lahir pada 106 SM di Arpinum, sebuah kota bukit 100 kilometer (62 mil)
selatan Roma, Italia. Ayahnya adalah baik untuk melakukan anggota order
berkuda dengan koneksi yang baik di Roma, meskipun sebagai semi sah, dia
tidak bisa masuk kehidupan publik. Ia mengganti rugi ini dengan
mempelajari secara ekstensif. Meskipun sedikit yang diketahui tentang
ibu Cicero, Helvia, hal itu biasa bagi para istri warga negara Romawi
penting yang harus bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga.
Sejak
kecil sudah dididik, diarahkan pada hal-hal yang bersifat klasik dan
suatu ketika siap berkarier dalam bidang hukum. Karena minatnya pada
sastra yang sangat tinggi, ia rela meninggalkan kota kelahirannya menuju
Athena, dan Rhodes. Di kota inilah ia mendalami filsafat dan retorika,
termasuk ajaran para stoisisme. Setelah kembali ke Roma, ia menikah dan
berkarier dalam bidang politik praktis. Karier politiknya pun cepat
menanjak. Ia sempat menjabat sebagai anggota senat.
Cicero
julukan, atau nama pribadi, berasal dari bahasa Latin untuk buncis,
cicer. Nama ini awalnya diberikan kepada salah satu leluhur Cicero yang
memiliki celah di ujung hidungnya menyerupai kacang buncis. Namun lebih
mungkin itu nenek moyang Cicero makmur melalui budidaya dan penjualan
chickpea. Roma sering memilih ke bumi pribadi nama keluarga down. Cicero
didesak untuk mengubah nama ini deprecatory ketika ia memasuki politik,
namun menolak, mengatakan bahwa ia akan membuat Cicero lebih mulia
daripada Scaurus (“bengkak-ankled”) dan Catulus (“Puppy”).
Cicero
adalah orator dan negarawan Romawi kuno yang umumnya dianggap sebagai
ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa. adalah seorang Romawi filsuf,
negarawan, pengacara, ahli teori politik, dan Romawi konstitusionalis .
Dia dianggap sebagai salah satu terbesar Roma orator dan penata prosa.
Cicero adalah pemikir besar Romawi tentang negara dan hukum. Pemkiran
Cicero banyak dipengaruhi oleh karya-karya Plato dan ajaran filsafat
kaum Stoa. Pengaruh yang demikian besar ini nampak dalam dua karya
Cicero, yaitu De Republica (tentang negara), dan De Legibus (tentang
hukum dan Undang- Undang). Cicero lebih dikenal sebagai seorang filsuf
dan negarawan ketimbang seorang pengacara. Hal itu tak terlepas pada
kecintaannya akan kebijaksanaan-kebijaksanaan filsafat Yanani kuno baik
pra sokratik maupun post sokratik. Cicero adalah salah satu pemikir
legendaris di bidang politik pada jaman klasik.
Kemudian, dua
karya Cicero yaitu De Republica (tentang negara), dan De Legibus
(tentang hukum atau undang-undang). Dengan demikian ajaran Cicero
tentang asal mula negara tidak berbeda dengan ajaran Plato, yaitu
melalui perjanjian masyarakat dan kontrak sosial. Namun demikian Cicero
telah memodifikasi pemikiran Plato dengan memasukkan pengaruh-pengaruh
Stoic didalamnya.
Buku
Cicero yang terkenal adalah De Republica (Commenwealth). Bukunya ini
punya kemiripan dengan bukunya Plato yang berjudul Republic. Isinya
berbentuk dialog antara para sahabatnya. Topik utamanya berkaitan dengan
tema-tema politik dan keadilan. Dalam bukunya ini, ada lima ajaran
utama Cicero tentang kehidupan politik dalam sebuah Negara. Pertama,
Cicero mengkonfrontasikan pertanyaan kewajiban para filsuf dalam Negara.
Kedua, membahas tentang sifat persemakmuran (commenwealt). Baginya,
commenwealt adalah sebuah urusan rakyat. Manusia adalah makhluk sosial
alami, dan membentuk masyarakat politik. Ketiga, diskusi tentang hukum
alam. Menurut Cicero, hukum alam adalah konvensi-konvensi relative yang
hanya melayani kepentingan mereka yang berkuasa. Keempat, pembelaan
keadilan sebagai sebuah atribut universal dari akal dan dapat diakses
oleh semua makhluk rasional. Hal ini bertujuan untuk menentang
keputusan-keputusan para pemimpin politik, dan perang yang terjadi atas
nama Negara. Kelima, mendiskusikan ciri-ciri penguasa yang baik. Moral
baik dan sifat praktis penguasa menjadi kekuatan yang dapat memberi
motivasi.
Dalam
pandangan Cicero, negara adalah suatu kenyataan yang harus ada dalam
kehidupan manusia. Negara disusun oleh manusia berdasarkan atas
kemampuan rasionya, khususnya rasio murni manusia yang disesuaikan
dengan hukum alam kodrat. Kendatipun ajaran Cicero berbeda dengan ajaran
Epicurus yang menganggap negara sebagai hasil perbuatan manusia yang
berfungsi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan mereka, namun ajaran
Cicero ini jelas menunjukkan konsep perjanjian masyarakat tentang asal
mula negara.
Dalam
mengkonstruksi negara idealnya, cicero menurut model Republik Romawi,
dalam bukunya yang berjudul De Republica (On The Commonwealth), Cicero
menawarkan sebuah bentuk negara yang menganut konstitusi campuran, yaitu
sebuah konstitusi yang mengawinkan kebaikan dari berbagai sistem
politik yaitu; sistem monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Monarki di
mata Cicero dipandang memiliki kebaikan, karena dalam sistem ini
keberadaan seorang raja layaknya seorang bapak yang akan mengayomi
anak-anaknya. Namun rakyat memiliki bagian yang telalu kecil dan suara
yang tidak signifikansi dalam administrasi. Aristokrasi dalam
pandangannya pun memiliki kebaikan, yaitu kebijaksanaan akan memimpin
dan membimbing negara. Namun kebebasan rakyat terlalu dibatasi karena
tidak dilibatkan dalam pembagian kekuasaan politik. Sedangkan demokrasi
walau dinilai oleh Plato dan Aristoteles merupakan sebuah sistem yang
buruk, bagi Cicero demokrasi juga memiliki kelebihan karena memberi
ruang pada rakyat untuk aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Namun, menurut Cicero ketiganya terlalu mudah merosot karena bentuknya
yang jahat (masing-masing memiliki kekurangan yang membusukkannya):
monarkhi menjadi tirani, aristokrasi menjadi pluktorasi atau ologarkhi,
dan demokrasi menjadi hukum rimba.
Cicero
percaya bahwa sifat negara ideal secara esensial bergantung pada
pengaturan- pengaturan institusional para pejabat publik. Kepala
diantara mereka adalah para senator, dan ia melihat senat sebagai inti
sistem hukum dan kekuasaan yang direkomenasikannya. Senat sebaiknya
menngontrol kebijakan publik. Kata kunci yang diartikan oleh cicero
tentang kekuasaan adalah dominus, ”pakar” kebijakan publik. Bahwa
keutamaan senat dalam suatu negara adalah berada dalam konstitusi.
Konstitusi
campuran adalah isi dari buku Cicero yaitu de Republica. Menurut
analisis Cicero dalam bentuk Republik Roma adalah konstitusi jenis
terbaik. Cicero menolak konstitusi- konstitusis sederhana karena
kecendrungan untuk terdegradasi menjadi tirani. Cicero lebih menyukai
konstitusi campuran seperti Roma dimana memadukan tiga tipe sederhana
menjadi satu bentuk pemerintahan yang moderat dan berimbang. Dalam
negara semacam ini terdapat terdapat elemen tertinggi atau elemen
muliadengan kekuasaan (potestas) bagi magistrat, kewenagan (auctoritas)
bagi para tokoh, dan kebebasan (libertas) bagi rakyat. Hak, kewajiban,
dan fungsi diseimbangkan secara adil, dengan stiap warga apa pada
tingkatan dan posisinya sendiri. Sebagai kesetaraan yang adil dan
sejati, konstitysi campuran menghasilakn stabilitas besar, karena
penyebab degradasi dikendalikan lewa pembatas- pembatas struktural.
Pernyataan
Cicero tentang Konstitusi Campuran, ia memikirkan Republik roma dengan
para konsul sebagi pemegangkekuatan raja, senat sebagai pemegang
kekuatan aristokrasi, dan tribun-tribun serta majelis-majelis rakyat
sebagai pemegang kekuatan demokrasi. Masing masing memeriksa dan
menyeimbangkan yang lain.dari pencariannya atas sifat campuran Roma yang
berimbang, Cicero menulai sejarah konstitusionalnya dengan pendirian
legendaris romulus dan berlanjut melewati kekuasaan tradisional tujuh
raja, penghapuswan monarkhi, dan penggantiannnya dengan aristokrasi,
hingga pertengahan abad kelima ketika dua belas tabel (twelve Table)
diundangkan dan oligarkhi kaum decemvir ditumbangkan
Dalam
bukunya kedua, yaitu De Legibus, Cicero memperluas mengenai apa yang
disebut hukum alam. Cicero mendefenisikan hukum adalah nalar tertinggi
yang ditanamkan ke alam yang memerintahhkan apa yang musti dilakukan dan
melarang hak yang sebaliknya. Hukum adalah kekuatan alamiah; ia
meruapakn pikiran dan nalar manusis yang cerdas, standar yang digunakan
untuk mengukur keadilan dan ketidakadilan. Namun, karena seluruh
pembahasan harus sejalan dengan nalar penduduk seringkali perlu
membahasnya dengna nalar yang popular, dan memberi nama hukum apa yang
dalam bentuknya yang tertulis memutuskan apa pun yang dia kehendaki baik
berupa perintah dan larangan. Sebab, inilah defenisi hukum yang biasa
dipakai.
Cicero
menekankan, hukum apa pun yang dibuat oleh manusia atau tradisi apaun
yang mereka praktekkan, yang tidak sesuai dengan hukum alam itu tidak
absah. Manusia mngkin saja dipaksa oleh kekuatan fisik penguasa yang
lebih superior untuk mematuhi keutusan- keputusan yang bertentangan
dengan alam tetapi dia memiliki kewajiban untuk melakukannya. Dengan
demikian, manusia bukan merupakan subyek badi hukum yang dibebankan
kepadanya melainkan hanya untuk “hukum alami” yang dia berikan kepada
dirinya sendiri.
Cicero
bersama Plato, dan Polybius adalah pembela gigih dari kegunaan sosial
dari agama. Cicero percaya bahwa agama melegitimasi tindakan- tindakan
pemerintah dan membujuk para warga negara untuk menghormati institusi-
institusi mereka dan penghargaan terhadap para penguasa serta kebijakan-
kebijaknnya, jadi mencipatakan satu basis dukungan yang luas dan
loyalitas yang bertahan lama. Singkatnya agama adala pondasi mutlak yang
krusial bagi pendidikan dan keluhuran sipil, kesatuan dan ketertiban
negara. Alasan- alasan Cicero mengapa agama penting bagi negara adalah
yang utama, agama memberikan kewenangan kepada negara sehingga
memungkinkannya memerintahkan loyalitas dan kepatuhan dari warga negara.
Seandainya negara dianggap didirikan oleh dewa, maka seluruhnya yang
dikerjakan memiliki legitimasi. Para warga negara yang akhirnya percaya
bahwa dewa- dewa selalu mengawasi, akan berhati- hati dalam perilaku
individual mereka dan mencermati sikap- sikap buruk mereka, sepertinya
akan menuruti petunjuk moral dan komunitas. Akhirnya pengaruh sosial
bersih dari agama adalah penjinakan dan menenangkan rakyat. Ia
mengangkat rakyat keluar dari kebiadaban dan barbarisme dan menjadi
instrumen dalam pembentukan suatu jalan hidup ang harmoni, sempurna dan
beradab. Melalui agama sebuah masyarakat yang damai dan tertib adapat
diteguhkan, memiliki moral, kegigihan, kekuatan yang diperlukan untuk
penjagaan diri dari dunia yang kejam. Stoicisme Marzab Stoic, mempunyai
asal mula yang sejaman dengan Epicureanisme. Namun demikian, sejarahnya
yang lebih panjang, doktrinnya tidak begitu kaku, dan pengaruhnya jauh
lebih besar. Stoicisme merupakan mazhab yang mendidik negarawan sebaik
para filsuf. Bersama- sama dengan doktrin Hukum universal dan kewargaan
dunia, Stoic baru tampaknya menyeru kepada temparamen dan pandangan
orang- orang Romawi yang dimasukkan ke dalam sistem politik dan hukum
meraka.
Marcuss
Aurellius Cicero adalah tokoh terkemuka dari mazhab Stoic,
mempersentasekan tipe kebajikan Stoic. Dia bukan hanya menghabiskan
waktu secara sungguh- sungguh untuk meditasi, namun mencurahkan 16 jam
stiap harinya pada pemerintahan kerajaan Romawi. Tetapi apa yang baik
dari semua pelayanan publik stoic ini sebagimana klaim Stoicisme, dunia
tidak berarti dan jika kesehatan, kekayaan, atau kekuasaan yang ada pada
mereka tidak berguna? Bagi Cicero dan kaum Stoic baru, jawabannya
sangat jelas, bahwa hidup adalah seperti permainan. Apa yang nyata
adalah bahwa permainan bisa dihadirkan secara benar dan ara pemain bisa
memenuhi bagian- bagian mereka secara benar.
Menurut
kaum Stoic, Tuhan memberikan setiap individu suatu peran: seseorang
mungkin berada dalam kasta pemguasa, yang lain mungkin sebagai budak.
Pemain yang baik harus bisa memainkan keduannya; yang penting baginya
adalah menerima peran tersebut tanpa berlebihan atau mengeluh dan
menjalankannnya dengan baik. Bagian dalam permainan, sebagimana semua
hal di dunian ini, semuannya tidak berguna. Namun utuk menjadi pemain
yang baik seseorang harus menjalankan fungsinya, apapun peran yang harus
dilakukan. Dia harus berupaya menuju kesempurnaan apakah dengan peran
sebagai raja ataukah budak karena kebaikan watak terletak pada perbuatan
menuju kesempurnaan tersebut. dengan penalaran ini, stoicime memberikan
bimbingan kepada para wali maupun pelayan publik.