SEJARAH PULAU BINONGKO
sumber dari salah satu blog teman juga asli binongko
Bagi orang Kepulauan Tukang Besi,
pelayaran ke seantero Nusantara, Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan
dianggap sebagai rutinitas biasa. Bahkan mereka ada yang sampai di perairan
Australiua Utara, Pakistan. dan Kepulauan Palau di sebelah timur Filipina
dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional yang disebut lambo/Bangka.
Jaringan dan peran serta mereka dalam dunia pelayaran niaga, sejauh yang dapat
dilacak, mulai tampak sejak abad terakhir masa kurun niaga yang mula-mula
dipelopori oleh orang-orang Binongko kemudian disusul
oleh pulau-pulau lainnya. Ada tiga keunggulan utama yang dimiliki oleh
pelayar-pelayar Kepulauan Tukang Besi dan dua peran serta yang dimainkan, yaitu
kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas
yang ganas dan penuh misteri, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi
pelayaran, serta peranserta mereka untuk ikut menyebarluaskan Islam dan
kebudayaan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan ikut membantu perjuangan
untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sumber Media Kita dari Key Maluku
Tenggara pada tanggal 7 Mei 1990 melaporkan bahwa orang-orang Binongko sejak abad ke-17 telah sampai di
Maluku. Di Kepulauan Key Maluku Tenggara itu mereka berhasil mendirikan sebuah
kampung kecil yang dinamakan Kampung Tamu. Perahu lambo pertama yang berhasil
mereka buat di kampung itu diberi nama PL Montoroso yang dalam bahasa Kaumbeda
berarti “awak perahu pemberani dan bertanggung jawab” (Hasan, Media Kita, No.
57/Thn XXI/1990: 2). Ligtvoet (1877) dalam Pim Schoorl (2003 : 108) menjelaskan
bahwa menurut Speelman, pada zamannya Pulau Binongko terkenal karena
perahu yang dibuat disana yang sering dipersenjatai dengan sepasang lela dan
beberapa senapan. Selanjutnya Pim Schoorl (2003: 108-109) menjelaskan bahwa di
dalam Militari Memori (1919) dilaporkan bahwa dari sekitar 300 perahu yang
dipergunakan untuk pelayaran jarak jauh yang ada di Buton, ada sekitar 200
perahu terdapat di Kepulauan Tukang Besi.
Pada awal abad ke-18, di Pulau Binongko
terdapat seorang juragan terkenal bernama La Nina alias Wa Ama Taangi yang
lahir pada tahun 1711 dan meninggal di Latuhari Kepulauan Key Maluku Tenggara
pada tahun 1787. Ia berhasil melintasi Kepulauan Nusa Tenggara dan sampai ke
Maluku. Ia memiliki kader-kader pelayar ulung seperti La Biddae (1770-1823), La
Kaga (1776-1836) dan La Sida (1862-1919). (Hasan, Media Kita, No. 44/Thn
XIX/1989: 6).
Hasil penelitian Firmansyah pada bulan
Mei 2006 tentang Persepsi Masyarakat Muslim Maluku Terhadap Pejuang Kapitan
Pattimura yang berhasil mewawancarai 12 orang keturunan Pattimura, menyimpulkan
bahwa Kapitan Pattimura adalah seorang pelarian dari Perang Waloindi II di
Binongko yang kalah setelah memberontak kepada Buton dan Belanda pada awal abad
ke-19. Penggantinya yang bernama Kapitan Ulupaha adalah bekas Raja Kaledupa
yang ikut bersama Pattimura ke Ambon. Di kalangan masyarakat Maluku dan
Kepulauan Tukang Besi tidak merasa asing jika mendengar syair lagu berikut :
”kole kole arumbae kole raja pati tana
bara”
Syair di atas menunjukan bahwa ada
seorang raja bernama pati yang datang dari barat dengan menggunakan sebuah
perahu tradisional yang mereka sebut kole. Diduga bahwa raja pati yang
dimaksudkan dalam syair itu adalah Pattimura. Tentunya dia adalah seorang
pelayar yang paham tentang navigasi pelayaran tradisional karena kehadirannya
di Ambon menggunakan perahu kole. Pada akhir abad ke-19, dua orang pelayar
ulung bersaudara asal Tomia masing-masing bernama Ua Senge dan Ua Kamu berhasil
mendirikan sebuah kampung di Johor yang bernama Kampung Sungai Karang. Mereka
sangat populer karena, selain berdagang, juga menjadi guru pencak silat balabba
yang sangat terkenal di kalangan pelayar-pelayar Buton. Pencak silat balabba
ini kemudian menjadi tradisi yang dipertontonkan di kalangan masyarakat Tomia
pada setiap selesai Hari Raya Idul Adha.Pada tahun 1900, ada sembilan orang
pemuda asal Binongko berhasil merantau ke Digus dan Davao Mindanao Filipina
Selatan. Tidak lama kemudian, yaitu pada tahun 1901, ada empat orang pelayar
Binongko berhasil menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah dengan
menggunakan perahu lambo. Mereka berlabuh di salah satu pelabuhan di Pakistan
kemudian menyebrang ke tanah suci Mekkah lewat darat.. Mereka kemudian dikenal
dengan sebutan Haji Hohaa (Haji Empat Orang) (Hasan, Media Kita No. 44/Thn
XIX/1989: 6). Mereka adalah La Samuraa (H. Shiddiq), La Muru (H. Thayeb), La
Sirau (H. Abdul Halim), dan La Ali (H. Muhammad Ali).
Para pelayar Binongko yang ke tanah suci
biasanya belajar agama Islam pada seorang syekh selama berpuluh tahun kemudian
pulang ke kampung dan menjadi guru agama bahkan menjadi ulama besar. Mereka
yang cukup terkenal adalah H. La Hidi, KH. Muhammad Tahir yang menjadi penyebar
Islam dan dikeramatkan di Pulau Tiga Salabangka Sulawesi Tengah, KH. Asy’ari
yang sampai akhir hayatnya menjadi ulama dan imam Mesjid Agung Al Fatah Ambon,
KH. Abdul Syukur yang menyebarkan agama Islam di Buton Barat, dan KH. Ibrahim.
Pada tahun 1908, empat orang Binongko menyebrang ke kota kecil Semorset dan
Kepulauan Wessel Australia bagian Utara. Mereka telah beranak cucu di sana
(Hasan, Media Kita, No. 44/Thn.XIX/1989 : 6). Pada tahun 1960-an sebuah perahu
asal Tomia yang dinakhodai oleh La Ida berhasil berlabuh di Kepulauan Palau,
sebuah negera kecil di Lautan Teduh sebelah timur Filipina. Cuplikan peristiwa
yang dikemukakan di atas hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak peristiwa
yang mereka lakoni yang terekam dalam ingatan anak cucu mereka karena tidak
meninggalkan catatan perjalanan sebagaimana dilakukan oleh pelayar-pelayar
Eropa. Pas jalan yang mereka gunakan untuk bahan laporan kepada setiap kepala
desa atau kepala kampung yang mereka singgahi tidak tersimpan dengan baik
bahkan dibiarkan rusak begitu saja. Akan tetapi penjelasan di atas sudah cukup
meyakinkan kita dan menjadi rujukan untuk suatu pernyataan bahwa memang mereka
adalah pelayar-pelayar ulung yang sangat berani dan menjadi tulang punggung
dalam struktur pelayaran tradisional orang Buton. Peran mereka sebenarnya tidak
hanya terbatas dalam aktivitas perdagangan dan menyebarkan agama Islam
melainkan juga menyebarluaskan kebudayaan.
Dalam aspek bahasa, tampak dalam setiap
transaksi perdagangan di pasar-pasar atau di pelabuhan selalu menggunakan
bahasa Melayu, Tradisi pencak silat yang dilakukan pada setiap selesai Hari
Raya Idul Adha menampilkan tradisi pencak silat dari Maluku yang dinamakan
makanjara dan tradsisi pencak silat dari Malaysia yang dinamakan balabba.
Berbagai macam tarian, nyanyian, dan kesenian lainnya menunjukan variasi
pengaruh dari luar karena kontak perdagangan. Misalnya tari balumpa dari
Melayu, kadayo dan joge dari Jawa, sajo moane dan sajo wowine mendapat pengaruh
dari Makassar, dan badenda dari Maluku. Berbagai jenis makanan, pakaian,
alat-alat rumah tangga dan perkakas lainnya diperkenalkan kepada masyarakat
yang mereka kunjungi. Mereka mensuplai bahan makanan dan kebutuhan lainnya ke
daerah-daerah minus dan terisolasi. Tak dapat dipungkiri bahwa siapa saja yang
ingin melakukan perjalanan antar pulau atau antar pelabuhan harus menumpang
perahu lambo tanpa dibebani biaya apapun. Hal inilah yang kemudian
mengakibatkan para pelayar itu banyak “sanak saudara” di rantau orang. Dapat dibayangkan
bagaimana besarnya peran dan kontribusi mereka dalam perjalanan antar pulau
ketika transportasi laut saat itu masih sangat terbatas. Dalam masa-masa
perjuangan kemerdekaan mereka menjadi armada pengangkut perbekalan dan para
pejuang bahkan perlengkapan perang sekaligus menjadi matalala atau sumber
informasi tentang situasi di negeri-negeri seberang yang sering dimanfaatkan
oleh para pejuang kemerdekaan. Di masa pendudukan mereka dimanfaatkan oleh
penguasa Jepang untuk mengangkut barang-barang kebutuhan mereka seperti aspal
untuk pembangunan lapangan terbang militer di Kendari. Mereka sering pula
dimanfaatkan sebagai katu yang bertugas mengantar para penguasa atau tentara
Jepang dari satu pulau ke pulau lainnya. Mereka banyak yang menjadi korban pembunuhan
sadis yang dilakukan oleh militer Jepang di Wangi-Wangi. Untuk menghindari
kekejaman tentara Jepang itu mereka menyingkir ke Kepulauan Riau, Bangka,
Belitung, dan tempat-tempat lain yang dianggap aman. Di pelabuhan Pangkal
Pinang saja tidak kurang dari 100 perahu asal Kepulauan Tukang Besi mengamankan
diri. Di pelabuhan tersebut terjadi sebuah peritiwa yang amat heroik dimana
tiga orang juragan perahu masing-masing La Munaidi asal Tomia, serta La Goro
dan La Anu masing-amsing asal Kaledupa berhasil membantu pihak tentara
Indonesia untuk merebut lebih dari 30.000 pucuk senjata dari berbagai jenis di
barak militer Jepang, tiga kilometer dari kota Pangkal Pinang, pada tanggal 11
September 1945.
Para pelayar Kepulauan Tukang Besi
menjadi sumber utama tentang informasi proklamasi, bukan hanya kepada
masyarakat Kepulauan Tukang Besi melainkan kepada siapa saja yang mereka temui
di pasar-pasar dan pelabuhan-pelabuhan yang mereka kunjungi. Tidak hanya itu,
dalam masa revolusi fisik dan perang gerilya mereka menjadi pengangkut pasukan
dan senjata seperti yang dilakukan oleh juragan La Hasuba asal Kaledupa pada
tahun 1947 berhasil menyelundupkan senjata berbagai jenis dari Yogyakarta
melalui pelabuhan Probolinggo Jawa Timur. Senjata untuk satu batalyon itu diselundupkan
ke Sulawesi Selatan akan tetapi karena situasi disana kurang aman maka senjata
itu dibawa ke Kaledupa. Ada pula yang bergabung dalam berbagai kesatuan gerilya
di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan seperti yang dilakukan oleh La Uda dan
La Judah yang keduanya berasal dari Kaledupa. Sejak awal abad ke-20,
pelayar-pelayar Kepulaan Tukang Besi banyak yang menjadi pebongkara
(penyanggah) kopra dan cengkeh serta hasil bumi lainnya di Gresik, Surabaya,
dan Probolinggo di Jawa Timur seperti H. Hamiruddin, H. Isnawi, H. Umar. H.
Halim, H. Kaimuddin, La Tara Juta, H. Ali, H. Mastora, La Ade, dan La Tani.
Mereka menjadi saudagar-saudagar yang cukup kaya di kota-kota itu.
Dalam aspek perubahan teknologi pelayaran yang
amat penting adalah kebijakan program motorisasi yang dicanangkan oleh
pemerintah pada tahun 1977. Jika program motorisasi itu telah mematikan
pelayaran di Buton daratan, namun sebaliknya di Kepulauan Tukang Besi justru
berhasil memacu dinamika pelayaran tradisional menjadi pelayaran modern. Dalam
waktu tidak kurang dari 20 tahun sejak penerapan kebijakan itu, semua perahu
lambo yang ada di Kepulauan Tukang Besi, terutama di Wangi-Wangi dan Tomia,
sudah dilengkapi dengan mesin. Perpaduan faktor-faktor geografis terutama letak
dan kodisi kepulauan serta idiologi gau satoto sebagaimana di kemukakan di atas
telah melahirkan dinamika pelayaran tradisonal mereka. Dinamika itu tidak hanya
berhasil memacu pertumbuhan ekonomi melainkan mengakibatkan munculnya berbagai
kegiatan musiman yang dilakukan pada musim pancaroba seperti perkawinan
musiman, pesta tradisional musiman, dan pembangunan fasilitas umum yang juga
dilakukan secara musiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar